TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PENERAPAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2009 SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP (Andy Nababan dan Dasrul Chaniago)

1.    Latar Belakang

Masalah lingkungan hidup di Indonesia cenderung meningkat dan meluas dari tahun ke tahun. Masalah-masalah seperti pencemaran, kerusakan hutan dan bencana alam, banjir adalah serangkaian masalah lingkungan yang selalu menghiasi perjalanan bangsa ini. Kondisi tersebut telah mengakibatkan kualitas lingkungan yang semakin memprihatinkan dan memberikan dampak yang sangat serius terhadap kesehatan dan jiwa manusia.

Meningkatnya kerusakan sumber daya alam dan lingkungna hidup saat ini telah mencapai kondisi yang sangat mengkhawatirkan, sehingga mulai menyadarkan banyak pihak akan perlunya merubah orientasi dan paradigma pembangunan yang selama ini lebih mengandalkan pada sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dari perspektif pembangunan berkelanjutan, orientasi dan paradigma yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi semata, dipandang telah mengaburkan capaian kinerja dan bahkan esensi pembangunan itu sendiri.

 

2. Selayang Pandang Isu Lingkungan Hidup

2.1.Penurunan Kuantitas dan Kualitas Air.

Meski secara naluriah sekalipun manusia menyadari bahwa air merupakan sumber kehidupan utama bagi seluruh mahluk hidup, namun praktik-praktik pengelolaan air bersih pada umumnya, hingga saat ini masih menunjukkan penghargaan yang rendah terhadap air. Meski data menunjukkan Indonesia memiliki enam persen dari persediaan air dunia atau sekitar 21 persen persediaan air Asia-Pasifik, namun demikian dari tahun ke tahun terjadi kelangkaan dan kesulitan mendapatkan pasokan air layak pakai. Kecenderungan konsumsi air naik secara eksponensial, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung berkurang akibat kerusakan dan pencemaran lingkungan yang diperkirakan sebesar 15-35 % per kapita per tahun.

Kelangkaan air selama ini tak bisa dipisahkan oleh anggapan bahwa persediaan air dalam keadaan tak terhingga tak perlu dirisaukan air akan dapat terbentuk secara alamiah melalui proses daur hidrologi. Anggapan ini menimbulkan pola konsumsi air yang mengarah pada penggunaan sumber daya air yang tidak berkelanjutan sehingga mengakibatkan penurunan  kualitas lingkungan.

Pengelolaan sumber daya air yang tidak berkelanjutan menyebabkan kekhawatiran bahwa ketersediaan dan kualitas cadangan air menjadi pembatas pembangunan. Kekhawatiran itu harusnya bisa dihilangkan jika semua pihak bisa memahami bagaimana memenuhi kebutuhan air secara berkelanjutan dari segi kualitas dan kuantitas.

Penggunaan air harus mempertimbangkan daya dukung dan konservasi sumber daya air. Pemahaman itu sangat dibutuhkan karena terkait erat dengan Rencana Tindak dari Kesepakatan Nasional Pembangunan Berkelanjutan yang dicanangkan di Yogyakarta, Januari 2004. Pada tahun 2004 perlu ditetapkan kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya air demi kepentingan bersama melalui partisipasi masyarakat.

Pencemaran air di dataran umumnya terjadi pada air permukaan  yang meliputi sungai, danau/situ, selain pencemaran air laut. Pencemaran sungai dan danau selama ini terjadi akibat pembuangan limbah industri, limbah rumah tangga/domestik maupun limbah pertanian.

Bertambahnya penduduk dan pesatnya laju pembangunan mengakibatkan peningkatan kebutuhan air untuk rumah tangga, pertanian dan industri. Kebutuhan air secara nasional tahun 2003 mencapai 112.275 juta m3 dan pada tahun 2020 meningkat menjadi 127.707 juta m3 (Dep. Kimpraswil, 2003). Berbagai faktor yang dapat menyebabkan penurunan kuantitas sumberdaya air antara lain penggundulan hutan di hulu DAS, perubahan fungsi daerah tangkapan air (catchment area), perubahan hutan menjadi lahan budi daya nonhutan, hilangnya danau, rawa, situ, mengurangi kemampuan tanah menyerap dan menahan air hujan.Sedangkan penurunan kualitas sumberdaya air disebabkan oleh pencemaran. Pemantauan 72 waduk besar saat musim kemarau hingga Agustus 2003 menunjukkan 23 waduk kondisi airnya dikategorikan kering, 38 waduk di bawah normal, dan hanya 11 waduk kondisi airnya normal. Selama tahun 2003, Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara mengalami defisit air sebesar 13,4 miliar m3. Pencemaran sungai akibat kegiatan industri dan rumah tangga telah menyebabkan penurunan kualitas air sungai. Sebagai contoh lima sungai di Jawa Barat yaitu Cisadane, Ciliwung, Citarum, Cileungsi dan Cimanuk telah dicemari oleh bakteri Coli dan berbagai jenis limbah lainnya. Kandungan bakteri Coli di kelima sungai tersebutsudah di atas 2000 per milimeter. Hal ini menunjukkan bahwa air di kelima sungai tersebut sudah tidak layak lagi digunakan untuk bahan baku air minum. (BPLHD Jawa Barat, 2003).

Kerusakan Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kesatuan ekosistem dimana mahluk hidup dan lingkungannya berinteraksi secara dinamik dan saling ketergantungan (interdependensi). Pada saat ini hampir semua DAS mengalami kerusakan. Untuk menanggulangi kerusakan DAS, pemerintah melaksanakan Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan (GNRHL) di 68 DAS prioritas. Total luas DAS yang akan direhabilitas mencapai 3.000.000 juta hektar yang tersebar di 27 provinsi (242 kabupaten/kota).

 

2.2. Pencemaran Udara dan Kerusakan Atmosfer

Pencemaran udara di Indonesia sudah menjadi masalah yang serius terutama di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung dan Medan, maupun pada pusat-pusat pertumbuhan industri. Hasil pemantauan beberapa parameter pencemaran udara (debu, SO2, NOx, CO, HC, dan Pb) menunjukkan kualitas udara ambien di lokasi-lokasi tertentu di kota-kota besar cukup memprihatinkan. Sektor transportasi merupakan penyumbang polusi udara terbesar. Sekitar 80% polusi udara disebabkan emisi gas buang kendaraan bermotor. Sisanya disebabkan oleh industri, kebakaran hutan dan aktifitas rumah tangga. Berkaitan dengan isu lingkungan global, Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk nomor empat di dunia juga menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat menyebabkan pemanasan global. Namun dengan adanya hutan tropis yang luas, GRK tersebut

banyak diserap kembali. Disamping itu, Indonesia juga ikut serta dalam kegiatan pengurangan

penggunaan bahan perusak ozon melalui pelarangan peredaran dan penggunaan gas aerosol seperti CFC.

 

2.3. Limbah Domestik

Pertambahan jumlah penduduk akan meningkatkan jumlah limbah padat dan limbah cair yang dihasilkan oleh kegiatan rumah tangga. Sebagai contoh jumlah sampah yang dihasilkan pada tahun 2020 akan bertambah lima kalilipat dibandingkan tahun 1995. Pada tahun 1995 jumlah sampah yang dihasilkan rata-rata 800 gram per kapita per hari sedangkan pada tahun 2020 diperkirakan 910 gram per kapita per hari. Peningkatan jumlah sampah menyebabkan bertambahnya kebutuhan lahan pembuangan sampah baik untuk tempat penampungan sementara (TPS) maupun tempat pembuangan akhir (TPA). Sementara itu, lahan yang tersedia di daerah perkotaan semakin berkurang sehingga biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan TPS dan TPA akan semakin mahal. Kendala lainnya adalah protes masyarakat terhadap pengembangan lokasi baru untuk TPS dan TPA. Sebagai contoh penolakan masyarakat terhadap TPA di Cilincing, Jakarta Utara dan Tempat PengolahanSampah Terpadu (TPST) di desa Bojong, Kabupaten Bogor. Disamping itu, limbah cair rumah tangga telah menjadi permasalahan terutama di kota-kota besar. Sebagai contoh limbah cair rumah tangga yang dibuang ke badan air di DKI Jakarta diperkirakan 1.316.113 m3 per hari. Secara kuantitas jumlah limbah cair yang dihasilkan oleh rumah tangga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan limbah cair yang dihasilkan oleh perkantoran dan industri yang masing-masing 448.933 m3 per hari dan 105.437 m3 per hari.

 

2.4. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Limbah B3

Bahan berbahaya dan beracun (B3) dan limbah B3 apabila tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan terjadinya dampak terhadap kesehatan manusia dan pencemaran lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan B3 dan limbah B3 secara benar. Bahan B3 banyak digunakan oleh kegiatan-kegiatan industri manufaktur, industri pertambangan dan energi, industri pertanian dan industri kehutanan termasuk kegiatan rumah tangga. Bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan B3 antara lain kecelakaan pada saat pengangkutan, penggunaan yang tidak sesuai prosedur, kebocoran dan kelalaian personil atau prosedur penyimpanan yang salah, seperti kebocoran tangki amoniak PT. Petrokimia Gresik pada tahun 2001 dan meledaknya tangki PT. Petro Widada pada tahun 2004. Sedangkan limbah B3 pada umumnya dihasilkan juga oleh kegiatan industri antara lain: manufaktur, industri pertambangan dan energi, industri pertanian dan industri kehutanan. Limbah B3 juga dihasilkan oleh rumah sakit dan rumah tangga. Pencemaran limbah B3 dapat terjadi melalui pembuangan limbah B3 ke tanah, media air dan emisi udara. Contohnya kasuskebocoran pipa oleh PT. Teksturindo Megah di Bandung tahun 2002 yang menyebabkan soda kostik yang termasuk limbah B3 mencemari sungai Citarik. Hal tersebut telah menyebabkan ikan di sungai tersebut mati dan masyarakat pengguna air sungai menderita gatal-gatal, kulit melepuh dan mengelupas/iritasi kulit.

 

2.5. Kebutuhan dan Diversifikasi Energi

Bahan bakar minyak (BBM) merupakan jenisenergi yang paling banyak digunakan. Pada tahun 2000, pemakaian BBM sebagai energi final mencapai 322 juta SBM, sedangkan untuk pembangkit tenaga listrik sebesar 36 juta SBM. Dari total permintaan BBM sebesar 358 juta SBM pada tahun 2000, kilang dalam negeri hanya mampu memasok 274 juta SBM atau sekitar 756 ribu bph (barel per hari), sehingga negara harus mengimpor BBM sebanyak 230 ribu bph setiap harinya.Permintaan BBM selama 2000-2010 diperkirakan akan tumbuh rata-rata 5,6% per tahun dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) lima persen per tahun. Pada tahun 2010 diperkirakan permintaan BBM mencapai 531 juta SBM, lebih besar daripada kemampuan produksi minyak bumi pada saat ini yang hanya berkisar 500 juta SBM per tahun.Untuk mengatasi defisit energi maka pemerintah melakukan upaya diversifikasi energi. Diversifikasienergi dilakukan selain untuk mengatasi defisit energi juga untuk mengurangi dampak lingkungan dari emisi bahan bakar minyak yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.Pada saat ini beberapa energi alternatif yang berpotensi dikembangkan di Indonesia antara lain biomassa, panas bumi, energi surya, energi air, energi angin dan energi samudra.

 

2.6     Kerusakan Hutan dan Lahan

Pada tahun 1950, Indonesia masih boleh berbangga karena memiliki hutan tropis yang sangat lebat. Saat itu, tutupan hutan di Indonesia sekitar 162 juta ha. Jumlah itu mengalami penurunan yang sangat tinggi selama 50 tahun sesudahnya. Karena selama kurun waktu itu telah terjadi penebangan hutan yang tak terkendali. Akibatnya hutan tropis mengalami kehilangan yang tergolong cepat di dunia.

Dalam kurun waktu itu, diperkirakan 40 persen dari luas hutan pada tahun 1950 ini telah ditebang. Pada tahun 1980-an, misalnya, rata-rata laju kehilangan hutan di Indonesia berkisar antara 1 juta ha per tahun, kemudian meningkat menjadi  1,7 juta ha per tahun pada tahun-tahun pertama 1990-an. Sejak tahun 1996, laju deforestasi tampaknya meningkat lagi menjadi rata-rata 2 juta ha per tahun. Jika dibulatkan, tutupan hutan di Indonesia mengalami penurunan yang sangat drastis, artinya turun dari 162 juta ha menjadi 98 juta ha.

Kerusakan paling parah terjadi justru pada hutan-hutan tropis dataran rendah yang mengalami keanekaragaman hayati yang tinggi. Jenis hutan ini memang menjadi incaran pelaku perusakan karena memiliki persediaan kayu yang paling besar. Tipe hutan ini hampir seluruhnya lenyap di Sulawesi, dan diramalkan akan lenyap di Sumatera pada tahun 2005 dan di Kalimantan pada tahun 2010, tentu saja  bila kecenderungan penebangan  saat ini  masih terus berlangsung.

Akibatnya, setengah dari luas hutan di Indonesia sudah terfragmentasi oleh jaringan jalan, jalur akses lainnya, dan berbagai kegiatan pembangunan, seperti pembangunan perkebunan, dan hutan tanaman industri.

Departemen Kehutanan (Dephut) mencatat bahwa laju kerusakan hutan mencapai 1,6-2 juta hektar per tahun sedangkan Forest Watch Indonesia mempekirakan laju kerusakan hutan mencapai 4,1 juta hektar per tahun pada tahun 2001-2003. Salah satu akibat dari lajunya kerusakan hutan adalah meningkatnya luasan lahan kritis. Total lahan kritis saat ini mencapai 43 juta hektar dari total luas hutan Indonesia yang mencapai 120,35 juta ha. Luas lahan kritis tersebar di Jawa, Bali, Nusa Tenggara, sebagian Sumatera dan Kalimantan. Lahan kritis paling luas terdapat di Pulau Jawa.

 

2.7. Perusakan dan Pencemaran Laut dan Pesisir

Potret buram pencemaran dan kerusakan lingkungan juga menghiasi wajah perairan laut dan pesisir. Sumber kerusakan dan pencemaran tersebut berasal dari penebangan hutan mangrove, abrasi pantai, pencemaran air laut, pengambilan pasir darat, dan perusakan terumbu karang.

Kerusakan pesisir dan laut semakin meluas selain karena terjadi konversi dan penebangan hutan mangrove, tetapi juga diikuti oleh kegiatan penangkapan ikan dengan bahan peledak dan racun. Selain itu, pengambilan karang dan pasir laut secara besar-besaran.

Selain mengalami kerusakan, laut dan pesisir juga tercemar oleh berbagai limbah seperti limbah organik, limbah anorganik, surfaktan, pestisida, zat kimia beracun, dan sedimentasi. Jumlah dan jenis pencemaran cenderung bertambah. Kawasan pesisir dan laut yang tinggi tingkat kerusakan dan pencemarannya adalah kawasan industri, pelabuhan dan wisata.

Kerusakan pesisir dan laut semakin meluas akibat konversi dan penebangan hutan mangrove, penangkapan ikan dengan bahan peledak dan racun, pengambilan karang, dan pengambilan pasir laut secara besar-besaran. Selain kerusakan semakin luas, laut dan pesisir juga tercemar berbagai limbah seperti limbah organik, limbah anorganik, surfaktan, pestisida, zat kimia beracun, dan sedimentasi. Jumlah dan jenis pencemaran cenderung bertambah. Kawasan pesisir dan laut yang tinggi tingkat kerusakan dan pencemarannya adalah kawasan industri, pelabuhan, dan wisata.

2.8. Lingkungan Global

Menipisnya lapisan ozon dan meningkatnya suhu bumi merupakan dua persoalan lingkungan yang memberikan dampak berskala global. Pencemaran udara di Indoensia sudah menjadi masalah yang serius terutama di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung dan Medan maupun pada pusat-pusat pertumbuhan industri.

Hasil pemantauan dengan menggunakan beberapa parameter pencemaran udara (debu, SO2, NO, CO, HC, dan Pb) menunjukkan kualitas ambien di lokasi-lokasi tertentu di kota-kota besar cukup memprihatinkan. Sektor transportasi merupakan penyumbang polusi udara terbesar. Sekitar 80% polusi udara disebabkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor. Sisanya disebabkan oleh industri, kebakaran hutan dan aktivitas rumah tangga.

Berkaitan dengan isu lingkungan global, Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk nomor empat di dunia juga menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat menyebabkan pemanasan global.  Namun, dengan adanya hutan tropis yang luas, GRK tersebut banyak diserap kembali. Di samping itu, Indonesia juga ikut dalam kegiatan pengurangan penggunaan bahan perusak ozon melalui pelarangan peredaran dan penggunaan gas aerosol seperti CFC.

2.9. Kemerosotan Keanekaragaman Hayati

Indonesia termasuk salah satu negara di dunia yang kaya akan keanekaragaman hayati. Data IUCN (The World Conservation Union) dalam peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa  tahun 2003 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 17% satwa liar dunia (300.000 spesies), 1.539 spesies burung, 600 spesies reptil, 515 spesies mamalia, dan 8.500 spesies ikan.

Bahkan CITES (Conservation on International Trade in Endargered species of Wild Fauna and Flora) telah memasukkan 66 spesies satwa liar Indonesia dalam CITES, dan  1.189 spesies mamalia dalam Appendix II. Satwa liar yang masuk dalam Appendix I tidak bisa diperdagangkan karena terancam punah. Satwa liar yang masuk dalam Appendix II masih bisa diperdagangkan dengan izin dengan jumlah yang dibatasi.

Kerusakan ekosistem, pembalakan liar dan perburuan satwa langka merupakan beberapa penyebab meningkatnya laju kerusakan keanekaragaman hayati. Data Red List, misalnya, mencatat tujuh jenis flora dan fauna Indonesia yang dinyatakan sudah punah. Ada dua jenis tumbuhan sudah tidak bisa ditemukan di alam atau punah di alam aslinya.

Bahkan Red List juga memasukkan 160 spesies makhluk hidup yang ada di Indonesia ke dalam kategori sangat kritis terancam punah (critical endargered). 175 jenis berada dalam kategori endargered, 465 jenis dalam kategori vurnarable, 20 jenis dalam kategori ancaman rendah, tetapi sangat tergantung pada upaya konservasi.

Gambar wajah buram  lingkungan hidup Indonesia saat ini bukan tidak mungkin akan tetap menjadi masalah yang  menghiasi  bumi nusantara ini bila tak ada langkah-langkah perbaikan. Tnetu saja, jika sistem pemerintahan yang belum efektif masih terus berjalan. Beberapa sebab yang ikut mempengaruhi masalah lingkungan itu, antara lain, krisis ekonomi, penyimpangan tata ruang, masalah kependudukan dan kemiskinan, urbanisasi dan pelaksanaan otonomi daerah.

Kementerian Lingkungan Hidup sebagai penanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup terus berupaya mengambil langkah-langkah strategis untuk meminimalisir kerusakan lingkungan.

Indonesia adalah negara yang kaya keanekaragamanhayatinya. Berdasarkan data IUCN ( The World Conservation Union), Indonesia memiliki17% satwa liar dunia (300.000 spesies), 1.539 spesies burung, 600 spesies reptil, 515 spesies mamalia, dan 8.500 spesies ikan, seperti disampaikan saat peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa tahun 2003. Di Indonesia juga tumbuh berbagai jenis tanaman industri komersil seperti lada, cengkeh, tebu, dan jenis lainnya. CITES ( Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan 66 spesies satwa liar Indonesia dalam Appendix I CITES, dan 1.189 spesies masuk dalam Appendix II. Satwa liar yang masuk dalam Appendix I tidak boleh diperdagangkan karena terancam punah. Satwa liar yang masuk

dalam Appendix II bisa diperdagangkan tetapi dengan izin dan dibatasi jumlahnya. Kerusakan ekosistem, pembalakan liar dan perburuan satwa langka dilindungi, merupakan beberapa penyebab meningkatnya laju kemerosotan

keanekaragaman hayati. Data Red List mencatat ada tujuh jenis flora dan fauna Indonesia yang dinyatakan sudah punah. Ada dua spesies tumbuhan sudah tidak bisa ditemukan di alam atau punah di alam aslinya. Red List memasukkan 160 spesies mahluk hidup yang ada di Indonesia ke dalam kategorisangat kritis terancam punah ( critical endangered). 175 jenis dikategorikan endangered,

465 jenis dikategorikan vurnerable, 20 jenis dikategorikan ancaman rendah tetapi sangattergantung pada upaya konservasi.

 

2.10. Bencana Lingkungan Hidup dan Alam

Baik bencana alam maupun bencana lingkungan mempunyai dampak terhadap makhluk hidup. Bencana alam disebabkan aktivitas alam yang dapat mengganggu kehidupan manusia sedangkan bencana lingkungan diakibatkan oleh kerusakan dan pencemaran lingkungan akibat aktivitas manusia. Bencana lingkungan dan bencana alam paling banyak terjadi di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Bencana lingkungan yang paling sering terjadi di ketiga pulau tersebut adalahbanjir, longsor dan kekeringan. Sedangkan bencanaalam yang sering terjadi adalah gempa bumi, letusan gunung berapi, angin topan, dan

gelombang tsunami. Berdasarkan Data Bencana PBP, pada tahun 2003 tercatat bencana banjir sebanyak 236 kali yang tersebar di 136 kabupaten/kota,bencana longsor di 48 kabupaten kota dengan jumlah kejadian 111 lokasi, bencana kekeringan sebanyak 80 kejadian tersebar di 36 kabupaten/ kota, bencana gempa bumi di 21 kabupaten/ kota dengan jumlah kejadian 26 kali, bencana angin topan di 20 kabupaten kota dengan jumlah kejadian 40 kali, bencana letus- 10 an gunung berapi di 7 kabupaten kota dengan jumlah kejadian 12 kali, bencana tsunami di 2 kabupaten kota dengan jumlah kejadian 2 kali.

 

3. Penegakan Hukum Sebagai Upaya Represif Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam upaya lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, maka pada tahun 2009 telah dilaksanakan pembaruan peraturan perundang undangan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan  Lingkungan Hidup.  

Undang-undang 32 Tahun 2009 memperkenalkan berbagai ketentuan baru yang dimaksudkan untuk lebih mampu memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. dalam upaya pencegahan dini atau preemtif diupayakan melalui antara lain Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Izin Lingkungan dan AMDAL sedangkan upaya Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa  penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang  sudah terjadi, melalui pemberian sanksi administrasi, penyelesaian sengketa keperdataan dan penerapan sanksi pidana.

Ditetapkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang bertujuan memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup serta mengatur jalannya pembangunan secara berkelanjutan tidak memberikan jaminan seutuhnya bagi terwujudnya maksud tersebut. Bahwa selain diperlukannya regulasi sebagai jaminan kepastian hukum, juga diperlukan perangkat hukum yang memiliki fungsi mengawasi  ketaatan pelaku kegiatan yang menimbulkan dampak bagi lingkungan hidup terhadap peraturan perundang-undangan tersebut, selain itu juga diperlukan perangkat aparatur yang bertugas menegakkan sanksi hukum terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup secara proporsional dan bertanggung jawab. Mengingat bahwa fase atau tingkat perusakan dan pencemaran lingkungan hidup telah berada pada tahap yang dapat mengakibatkan lingkungan hidup tidak mampu lagi memulihkan kualitasnya secara alami, maka Penegakan hukum yang dilakukan secara efektif telah menjadi kebutuhan mutlak sebagai upaya menekan tingkat perusakan dan pencemaran lingkungan.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai ketentuan pokok yang memberikan jaminan perlindungan terhadap lingkungan, memiliki prinsip bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi bagi setiap manusia, untuk itu perlu jaminan kepastian hukum bagi upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup.

 

3.1. Sanksi Administratif

Penerapan sanksi administrasi hanya dapat efektif dilaksanakan apabila didukung oleh pengawasan yang efektif. UU No.32 Tahun 2009 mengatur Pengawasan dan Sanksi Administrasi dalam satu judul, yaitu dalam Bab XII. Pengawasan merupakan suatu kegiatan pemantauan secara terus menerus dan dilakukan secara berkesinambungan serta didukung data yang akurat dari pelanggaran yang dilakukan oleh usaha dan/atau kegiatan. Sistem pengawasan meruapakan tanggungjawab para pejabat pengawas yang memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap penaatan persyaratan lingkungan hidup yang wajib dilakukan.

Sesuai dengan kewenangannya masing-masing, Menteri, gubernur, wali kota/bupati memiliki kewajiban  melakukan pengawasan teerhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 

Gubernur, wali kota/ bupati selanjutnya mendelegasikan kewenangan tersebut kepada instansi teknis yang bertanggung jawab dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. pada masing-masing instansi tersebut ditetapkan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH).

Menteri memiliki kewanangan untuk melakukan pengawasan terhadap ketaatan penganggung jawab usaha yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika dianggap terjadi pelanggaran serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

 Kewengangan Pejabat pengawas lingkungan hidup atau PPLH adalah

a. melakukan pemantauan;

b. meminta keterangan;

c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan;

d. memasuki tempat tertentu;

e. memotret; 

f. membuat rekaman audio visual;

g. mengambil sampel;

h. memeriksa peralatan;

i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau

j. menghentikan pelanggaran tertentu.

 

Sanksi administrasi diberikan berdasarkan temuan dan rekomendasi dari PPLH bila terjadi pelanggaran terhadap izin lingkungan dan penerapannya berdasarkan perintah Menteri, gubernur dan atau bupati sesuai dengan kewenangannya masing-masing.    

Sanksi administrasi berupa

a.  teguran tertulis;

b.  paksaan pemerintah;

c.  pembekuan izin lingkungan; atau

d.  pencabutan izin lingkungan.

Menteri dapat menerapkan sanksi administratif  terhadap penanggung jawab usaha atau  kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sanksi administratif tidak membebaskan penanggung jawab usaha atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.

Paksaan pemerintah berupa:

a. penghentian sementara kegiatan produksi;

b.  pemindahan sarana produksi;

c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;

d.  pembongkaran;

e.  penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; 

f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau 

g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.

 

3.2. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 84 UU No. 32 Tahun 2009, penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan, dan hal tersebut merupakan pilihan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.

Namun ketentuan lebih lanjut dalam ayat (3) pasal 84 yang menyatakan bahwa gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa, memiliki konsekwensi bahwa penyelesaian sengketa melalui pengadilan bukanlah pilihan bebas melainkan pilihan yang bersyarat.

Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:

a. bentuk dan besarnya ganti rugi;

b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan; 

c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau

d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

namun penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini tidak

dimaksudkan atau tidak bertujuan untuk menyampingkan atau menghapus pertanggungjawaban terhadap tindak pidana lingkungan

Atas inisiatif dan prakarsa masyarakat dapat dibentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang independen dan tidak memihak, dan atas inisiatif tersebut pemerintah wajib memfasilitasi keberadaan lembaga tersebut.

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan

Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 87, dinyatakan bahwa Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran  atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib  membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. 

Tuntutan ganti kerugian akibat pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang didasarkan kepada Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) merupakan ketentuan khusus yang bersumber pada ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Dalam ketentuan ini penggugat harus dapat membuktikan perbuatan melawan hukum dari penggugat, dan pembuktian ini menjadi persyaratan mutlak untuk menuntut ganti kerugian.

Strict Liability

Undang-undang 32 Tahun 2009 masih mengadopsi aturan tentang tanggung jawab mutlak sebagaimana diatur sebelumnya dalam Pasal 35 UU No. 23 tahun 1997, yaitu setiap orang yang tindakannya, usahanya atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahanya. Ketentuan ini menyimpang dari pasal 1365 KUHPerdata, karena beban pembuktian tidak menjadi kewajiban Penggugat. Tergugatlah yang harus membuktikan bahwa tidak adanya hubungan suatu peristiwa pencemaran atau kerusakan dengan kegiatan usahanya.

Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah dengan UU no.32 tahun 2009 ini lebih dinyatakan dengan tegas. Dalam prakteknya sebelum undang-undang ini diterbitkan telah beberapa kali Pemerintah melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup melaksanakan hak gugat pemerintah, meskipun dalam UU no 23 tahun 1997 tidak secara spesifisik mengatur tentang hak gugat pemerintah ini.

Pada  pasal 90 dinyatakan bahwa Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.  dalam penjelasan tentang pasal ini disebutkan Yang dimaksud dengan “kerugian lingkungan hidup” adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat.Tindakan tertentu merupakan tindakan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan serta pemulihan fungsi lingkungan hidup guna menjamin tidak  akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah ini bertujuan untuk melindungi seganap bangsa dan tumpah darah, namun dalam konteks kesatuan ekologis, pemisahan hak milik privat terutama untuk pembuktian di pengadilan, menjadikan ketentuan ini absurd dalam tatanan implementasinya.

Hak Gugat Masyarakat 

Gugatan perwakilan atau class action dikenal untuk pertama kalinya pada abad ke 18. Penerapan gugatan perwakilan (Class Action) sebelum tahun 1973 di Inggris hanya diperkenankan pada Court of Chancery. Pada tahun 1873 dengan diundangkannya Supreme Court Judicature Act di Inggris, maka class action mulai digunaka pada Supreme Court, dan dikembangkan di Amerika Serikat, Kanada, Australia, India berdasarkan konsep dan praktek yang berkembang di Inggrid pada awal abad ke 18.

Undang-Undang No.23 Tahun 1997 memperkenalkan dilakukannya gugatan perwakilan (class action). Undang-Undang ini dianggap sebagai awal pengakuan gugatan perwakilan di Indonesia. Dan dalam prakteknya pasal ini telaha beberapa kali digunakan dalam mengajukan gugatan di pengadilan. Ketentuan tentang hak gugat masyarakat ini diatur dalam Pasal 91 UU no.32 Tahun 2009.

Hak mengajukan gugatan perwakilan pada adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permaslahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan atau perusakan lingkungan.

Dengan adanya ketentuan tersebut, maka yang dapat mewakili masyarakat dalam kelompok besar tersebut adalah kelompok kecil di dalam kelompok besar tersebut. Tetapi mengingat kelompok kecil tersebut kurang memahami seluk beluk hukum acara perdata maka mereka dapat didampingi oleh konsultan hukum.

Tentang hukum acara gugatan class action diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Pasal 1 huruf a Perma No.1 Tahun 2002 menyatakan, Gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak yang mewakili kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.

Dalam Perma No.1 Tahun 2002 Pasal 2, menyatakan gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara gugatan perwakilan kelompok apabila:

a.    jumlah anggota kelompok sedemikan banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu gugatan;

b.    terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial serta terdapat kesamaan jenis tunttan diantara wakil kelompok  yang diwakilinya;

c.    wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang mewakilinya;

d.    hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.

 

Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan  masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. 

Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup 

Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan  hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu  tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali  biaya atau pengeluaran riil.  Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan:

a.  berbentuk badan hukum;

b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan

c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.

 

3.3. Sanksi Pidana  

Sebagai mana disebutkan dalam Penjelasan Umum UU no. 32 Tahun 2009, Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping  maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan  tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum  pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan  hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas  ultimum remedium secara spesifik disebutkan hanya berlaku bagi tindak pidana formil  tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

 

Penyidikan Dan Pembuktian

Penyidikan 

Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.

Penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain; 

f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

h. menghentikan penyidikan;

i. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual;

j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau

k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana. 

Terdapat beberapa kewenangan baru yang sebelumnya belum atau tidak diatur dalam UU no. 23 Tahun 1997 antara lain melakukan penggeledahan badan, pakaian serta melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana. kewenangan ini memberikan hak yang setara dengan Penyidik Kepolisian RI.

Kemandirian PPNSLH dalam penyidikan semakin besar karena dalam hal penyidikan cukup dengan memberitahukan kepada Penyidik pejabat polisi dan bila diperlukan dapat dimintakan bantuannya. PPNSLH dapat secara langsung menyampaikan pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan menembuskan kepada Penyidik kepolisian, dan hasil penyidikan disampaikan langsung kepada penuntut umum

Pembuktian

Dengan adanya ketentuan Pasal 96 UU no 32 Tahun 2009 tentang alat bukti, maka pembuktian dalam perkara pidana lingkungan juga lebih luas lagi yaitu dengan adanya ketentuan alat bukti lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, dengan demikian alat bukti rekaman suara atau gambar berupa foto ataupun video dapat dijadikan bukti dipengadilan dan memiliki kekuatan pembuktian yang setara dengan alat bukti lainnya.

Ketentuan Pidana

Berikut ini adalah table ketentuan sanksi pidana yang diatur dalam BAB XV pasal 97 sampai dengan pasal 115.

Jenis Pelanggaran

Akibat

Pidana

Denda (rupiah)

Minimum

Maksimum

Minimum

Maksimum

Sengaja

Lebih Baku mutu

3 tahun

10 tahun

3 millir

10 miliar

Orang Luka

4 tahun

12 tahun

4 miliar

12 miliar

Orang Mati

5 tahun

15 tahun

5 miliar

15 miliar

Lalai

Lebih Baku mutu

1 tahun

3 tahun

1 miliar

3 miliar

Orang Luka

2 tahun

6 tahun

2 miliar

6 miliar

Orang Mati

3 tahun

9 tahun

3 miliar

9 miliar

 

Jenis Pelanggaran

Pidana

Denda (rupiah)

Minimum

Maksimum

Minimum

Maksimum

Melepaskan/mengedarkan produk rekayasa genetika

1 tahun

3 tahun

1 miliar

3 miliar

Mengelola limbah B3 tanpa izin

1 tahun

3 tahun

1 miliar

3 miliar

Tidak mengelola limbah B3 yang dihasilkannya

1 tahun

3 tahun

1 miliar

3 miliar

Dumping

-

3 tahun

-

3 miliar

Memasukkan limbah

4 tahun

12 tahun

4 miliar

12 miliar

Memasukkan limbah B3

5 tahun

15 tahun

5 miliar

15 miliar

Memasukkan B3

5 tahun

15 tahun

5 miliar

15 miliar

Membakar lahan

3 tahun

10 tahun

3 miliar

10 miliar

Melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa izin

1 tahun

3 tahun

1 miliar

3 miliar

Menyusun AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun AMDAL

-

3 tahun

-

3 miliar

Menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi AMDAL atau UKL-UPL

-

3 tahun

-

3 miliar

Memasukkan B3

5 tahun

15 tahun

5 miliar

15 miliar

Membakar lahan

3 tahun

10 tahun

3 miliar

10 miliar

Melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa izin

1 tahun

3 tahun

1 miliar

3 miliar

Menyusun AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun AMDAL

-

3 tahun

-

3 miliar

Menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi AMDAL atau UKL-UPL

-

3 tahun

-

3 miliar

Menerbitkan izin usaha tanpa dilengkapi izin lingkungan

-

3 tahun

-

3 miliar

Tidak melakukan pengawasan

-

1 tahun

-

500 juta

Memberikan informasi palsu

-

1 tahun

-

1 miliar

Tidak melaksanakan perintah paksaan  pemerintah

-

1 tahun

-

1 miliar

Menghalang-halangi pejabat pengawas dan/atau PPNS

-

1 tahun

-

500 juta

 

Ketentuan sanksi pidana dalam UU No. 32 2009 terutama ditujukan untuk menjerat pelaku kejahatan korporasi terlihat jelas dengan penguatan sanksi bagi tindakan pidana yang dilakukan untuk dan atas kepentingan korporasi.

Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: badan usaha; dan/atau  orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersamasama. 

Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.  Sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional. 

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam UU no. 32 Tahun 2009, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; 

b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; 

c. perbaikan akibat tindak pidana; 

d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. 

 

4. Tantangan dan Harapan Dalam Perapan Ketentuan Sanksi Pidana UU No.32 Tahun 2009

Penyelesaian sengketa lingkungan secara pidana dilakukan setelah mempertimbangkan tingkat kesalahan pelaku. Jika tindakan yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku dinilai relatif berat, besar, dan mengakibatkan keresahan masyarakat, maka penyelesaian yang diambil adalah instrumen hukum pidana.